Malam Seribu Bulan
Matahari mulai meninggi, tapi Jumadi masih bergelung di
tempat tidur.Ia sangat enggan untuk bangun karena Lebaran tinggal sepuluh hari
lagi,dan denyut kemeriahan orang-orang untuk menyambutnya sudah begitu terasa.
DUA hari ia kelayapan mengunjungi mal-mal, pasar-pasar
tradisional, orang-orang yang berbelanja begitu menyemut. Sedangkan aku? Bah!
Aku belum punya apa-apa untuk menyenangkan anak istriku. Jumadi berdegut,
menelan ludah.
Pahitnya ludah karena sedang berpuasa, sepahit jalan hidup
yang kini tengah ia lakoni. Karena sudah hampir setahun ini ia jadi
pengangguran.Dan karena itu pula ia merasa sangat sedih. Untuk menghilangkan
rasa sedih itulah, Jumadi mencoba mengalihkannya dengan tidur sepanjang hari.
Tapi baru saja ia menarik sarung untuk menutupi tubuhnya
agar tidurnya lebih nyaman, pintu kamar tidurnya dibuka dengan kasar, bersamaan
dengan itu terdengar pula istrinya berseru: ”Mas, bangun dong, Mas! Jalan sana,
cari kerja. Jangan molor melulu. Mumpung masih ada waktu.Jangan sampai Lebaran
nanti kita tidak membuat ketupat sayur. Malu Mas, maluu… sama tetangga,” sang
istri ngomel panjang lebar sambil menimang-nimang anaknya yang terkecil, yang
baru berusia sepuluh bulan.
Sesaat emosi Jumadi meluap.Tapi ketika ia menatap wajah
istrinya yang kurus dan pucat, rasa marah itu lumer, berganti dengan rasa iba.
Bahkan ia merasa berdosa, karena tak dapat menafkahi istri dan ketiga anaknya
secara layak. Ia pun merasa, tuntutan istrinya itu wajar adanya. Perlahan-lahan
Jumadi bangkit dari tidur.
Perlahan-lahan pula ia menggerakgerakkan tubuh untuk
menghilangkan rasa pegal karena terlalu banyak tidur.Kemudian, ia melangkah ke
teras depan rumah. Ia duduk di kursi bambu yang sudah reyot. Tatapannya
menerawang ke depan, membentur bangunan-bangunan gedung yang kukuh dan mencakar
langit.Jumadi menghela napas berat.Hatinya serasa teriris.”Ya Allah, mengapa
harus ada orang yang terlalu kaya, ketika masih teramat banyak orang yang
terlalu miskin?”keluhnya.
Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling: Rumah-rumah
berdempetdempet, berdinding tripleks yang koyakmoyak. Beratap tambal sulam,
antara genting dan potongan-potongan seng bekas. Dikelilingi got-got
mandek.Kumuh. Sedangkan di depan sana, di pinggir jalan protokol, gedung-gedung
perkantoran berdiri megah. Angkuh! Tak pernah sekali pun Jumadi berhasil
memasuki salah satu gedung yang mewah itu.
Pernah sekali tempo Jumadi melamar kerja di salah satu
perusahaan yang berkantor di sebuah gedung yang megah itu, karena ia mendengar
dari salah satu tetangganya ada lowongan. Tapi baru memasuki lantai dasar,
langkahnya sudah ditahan satpam. ”Keperluan Bapak?” tanya satpam, galak.
”Melamar kerja, Pak,” jawab Jumadi sesopan mungkin. ”Di sini tak ada
lowongan,”suara satpam tetap galak.
”Tapi saya dengar ada lowongan, Pak,” Jumadi menyebut nama
sebuah perusahaan. Sang satpam mengangguk-angguk. ”Boleh Pak, saya menemui
pimpinan perusahaan itu?” suara Jumadi penuh permohonan. ”Oh maaf Pak, hal itu
tidak diperbolehkan oleh peraturan di gedung ini,” kali ini suara satpam sedikit
lunak. ”Silakan lamaran Bapak tinggal di sini, dan tunggu panggilan.” Tak ada
pilihan lain bagi Jumadi.
Dengan terpaksa ia menuruti kehendak sang satpam.Tapi sampai
kini, setelah tiga bulan berlalu panggilan kerja itu tak kunjung tiba! Ingat
akan hal itu dada Jumadi serasa sesak.Kesal. Muak! Jumadi menghentakkan kakinya
ke lantai yang terbuat dari semen. Kerja! Alangkah sulit didapat.
Padahal, ia pernah kuliah di Akademi Perindustrian.
Pengalaman kerja ia punya, karena ia pernah bekerja di pabrik sepatu sebagai
kepala bagian produksi.Tapi hal itu rupanya bukan jaminan untuk dengan mudah
kembali mendapatkan kerja.Semua pabrik dan kantor yang ia datangi untuk melamar
kerja selalu menolak dengan bahasa yang sama: ”Belum ada lowongan. Karena
krisis belum berakhir…’’
” Krisis! Krisis! Kapan krisis akan berakhir di negeri ini?!
Jumadi menghela napas panjang. Kini rasa sesal memenuhi rongga dadanya.
Menyesali sikapnya dulu yang memimpin teman-temannya berunjuk rasa menuntut
kenaikan gaji.Dan karena hal itu, ia dipecat dari tempatnya bekerja. ”Selamat
siang,Pak Jumadi,” sebuah suara tiba-tiba mengejutkan lamunannya. Jumadi
tergagap kaget.
”Oh, Pak Ayub,” Jumadi berusaha tersenyum.”Mau ke mana,Pak,
kok kelihatan rapi?” ”Ah, nggak ke mana-mana. Mau ngontrol rumah-rumah ini
saja.Takut ada yang bocor.Sudah hampir Lebaran,ya?” Jumadi tersenyum
kecut.Ucapan Pak Ayub itu jelas mengingatkannya: Bahwa selesai Lebaran nanti
habis sudah masa kontrak rumah yang ia tempati. Itu artinya: ia harus
menyediakan uang Rp750.000 jika masih ingin menempati rumah petak itu. ***
Belum lama Pak Ayub berlalu, dengan berlari-lari muncul
kedua anaknya,Agus dan Budi. Dengan napas masih terengahengah, keduanya
menceritakan bahwa teman- teman mereka sudah pada dibelikan baju baru,celana
baru,dan sepatu baru. ”Baju Angga bagus sekali, Pak. Ada gambar Spiderman-nya.
Belinya di Pasar Minggu.Budi belikan baju seperti itu ya, Pak?” kata anaknya
yang kedua sambil menarik-narik lengan bajunya. Jumadi terdiam.
Dadanya serasa tertohok. Ia tak tahu jawaban apa yang harus
diberikan pada anaknya, sosok kecil yang belum mengerti nasib dan penderitaan
hidupnya. ”Kapan Budi dibelikan baju untuk Lebaran,Pak?” tanya anak itu lagi.
”Beli sekarang saja, Pak,” timpal Agus,anaknya yang pertama. ”Iya,Pak. Lebaran
kan tinggal sebentar lagi?” sambung Budi dengan suara sedikit merengek.
”Sabar ya, Nak. Sabaarr…,” Jumadi mengelus-elus kepala kedua
anaknya. ”Besok Bapak belikan. Sekarang kalian main lagi, sana!” Kedua bocah
itu mengangguk puas. Lalu kembali berlari,bergabung dengan teman-temannya
bermain petak umpet. *** Seminggu menjelang Lebaran, Jumadi sengaja datang ke
pabrik sepatu bekas tempatnya bekerja dulu.
Hampir sembilan tahun bekerja mengabdi di pabrik sepatu itu,
ia tahu persis; tunjangan hari raya selalu dibagikan seminggu menjelang
Lebaran.Jumadi membuang jauhjauh rasa malu dari hatinya.Ia akan mencoba pinjam
uang pada bekas rekan-rekan kerjanya, terutama pada Karjo yang dulu merupakan
sahabat kentalnya. Tapi Jumadi hanya bisa gigit jari. Uang pinjaman itu tak ia
dapatkan.
Menurut bekas rekan-rekan kerjanya, THR tahun ini hanya
dibayar separuh dari yang biasa mereka terima, dengan alasan perusahaan merugi,
akibat krisis yang masih membelenggu negeri ini. Jumadi terpekur. Wajahnya
menyiratkan rasa putus asa yang dalam. Sebagai sahabat lama,Karjo merasa iba.
Tapi ia hanya bisa memberi saran.
”Dulu kau pernah bilang, punya saudara sepupu yang cukup
berhasil di Bogor. Karena dia punya bengkel motor dan usaha kios di pasar.
Mengapa tak kau coba minta tolong padanya, Jum?” kata Karjo hati-hati, mencoba
menyelami perasaan Jumadi. Jumadi mengangkat wajah, menatap sahabat lamanya
itu, lekat-lekat.
”Wah,benar saranmu itu,Jo,”senyum Jumadi. Ada pijar harapan
di bola matanya. ”Ya akan kucobalah, walau sesungguhnya antara aku dan dia ada
sedikit perselisihan.” Karjo menyelipkan selembar uang dua puluh ribuan di
telapak tangan kanan Jumadi. Dan dengan uang itu Jumadi pergi ke Bogor. Tanpa
banyak basa-basi, di hadapan Respati, saudara sepupunya itu, Jumadi
mengutarakan keluh kesahnya.
Tapi Respati hanya tertawa mendengar penuturan Jumadi,tawa
mengejek,yang membuat Jumadi semakin merasa tertohok. ”Jum, Jum, waktu sekolah
dulu kau mengejekku. Sekolah STM adalah sekolah calon kuli. Dan kau katakan
pula, menelan mentah-mentah wejanganwejangan para ulama di desa kita, sama
dengan percaya ilmu klenik. Sekarang hasilnya?” Respati kembali tertawa. Jumadi
diam, tak bereaksi.
”Makanya, jadi orang itu jangan terlalu sombong. Usaha,
ikhtiar itu wajib. Tapi, minta bantuan orang pintar itu juga perlu. Kau tahu,
keberhasilan yang aku dapat sekarang ini,adalah berkat dari hasil usaha, kerja
keras serta bantuan orang-orang pintar,” Respati berkhotbah panjang lebar.
Jumadi masih membisu.
”Aku hanya bisa mengingatkanmu,” kata Respati pula. ”Di
antara malammalam ganjil menjelang Lebaran, ada satu malam yang disebut malam
lailatul kadar.Malam yang penuh rahmat,malam seribu bulan.Sekarang masih ada
kesempatan. Cobalah kau berdoa di alam terbuka, lebih baik lagi di tepi pantai.
Siapa tahu akan kau dapatkan rahmat malam lailatul kadar itu…” ***
Malam 27 Ramadan. Langit Jakarta rata tertutup awan
hitam.Angin bertiup kencang, mengiris alam, meningkah malam. Sedangkan kilat
dan halilintar saling bersahutan, sebagai pertanda hujan yang deras akan segera
mengguyur bumi. Tapi hal itu tak dihiraukan Jumadi. Mengenakan peci hitam dan
tasbih tergenggam di tangan kanan, ia siap keluar rumah.Diam-diam Jumadi memang
telah termakan oleh saran dari Respati.
”Mau pergi ke mana Mas, malam mendung begini?” tegur
istrinya. ”Mau ke tepi pantai Ancol, berdoa, menunggu datangnya rahmat malam
lailatul kadar,” kata Jumadi mantap. ”Jangan mengkhayal, Mas. Malam lailatul
kadar hanya diturunkan Allah bagi orang yang menjalankan ibadah puasa dan
amalan-amalan sunah dengan baik selama Ramadan. Puasa saja nggak bener. Berapa
kali kau batal? Tarawih juga hanya tiga kali, kok ingin dapat rahmat malam
lailatul kadar!”
”Sudah, jangan berkhotbah!” suara Jumadi meninggi. Sang
istri diam. Ia telah hafal tabiat suaminya, yang tak bisa dibantah kalau sudah
punya kemauan. Sampai di tepi pantai, hujan turun dengan lebatnya. Halilintar
saling bersahutan. Tapi Jumadi tak gentar. Dengan khusyuk, ia baca wirid
sebisanya dengan hitungan tasbih yang berputar di tangan kanannya.
Setelah dirasa cukup,Jumadi menadahkan kedua belah telapak
tangannya, berdoa dengan bahasa yang paling ia pahami, memohon turunnya rahmat
pada Yang Mahakuasa. Entah berapa lama ia melakukan hal itu.Tubuhnya telah
bergetar, menggigil tanpa ia sadari. Sampai tiba-tiba ada sebuah Xenia berhenti
di dekatnya. Dengan kaca pintu sedikit terbuka, pengendara Xenia itu
berteriak-teriak menegur Jumadi.Tapi Jumadi tak mendengar.
Pada panggilan kesepuluh, baru Jumadi sadar, ada orang yang
menyapanya. Ia pun segera menengok menatap pengendara Xenia itu. ”Bapak sedang
apa?” tanya pengendara Xenia. ”Berdoa, menunggu lailatul kadar,” sahut Jumadi.
”Kenapa Bapak melakukannya di tepi pantai saat hujan lebat begini?” ”Karena
saya yakin, di tepi pantailah lailatul kadar akan turun.Dan saya ingin sekali
mendapatkannya. Lebaran tinggal tiga hari lagi, sedangkan saya belum punya
persiapan apa pun untuk anakanak dan istri saya.”
Lelaki pengendara Xenia itu terdiam. Rasa iba melumuri
hatinya. ”Kalau begitu mari ikut ke rumah saya, Pak,” katanya kemudian.
”Mungkin saya dapat memberi sesuatu yang Bapak perlukan untuk menyambut Lebaran
nanti.” Tanpa berpikir dua kali, Jumadi menuruti ajakan pengendara Xenia itu.
Dan dalam hati ia bersyukur, tapi juga bertanya-tanya: ”Inikah yang disebut
malam lailatul kadar itu? Malam Seribu bulan itu? Inikah…??”
0 komentar:
Posting Komentar